Selamatkan Industri "Java Kapuk"

  • Jan 23, 2019
  • karaban
  • BERITA

Sepuluh tahun ke depan, kalau pohon randu tidak dilestarikan, rumah tangga industri kapuk dan kasur di Desa Karaban bakal menemui ajalnya. Padahal ada lebih kurang 5.000 tenaga kerja produktif di Desa Karaban yang bergantung pada kapuk,” kata Supeno, pemilik pengolahan dan pengepakan kapuk UD Causa Prima, asal Desa Karaban, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, Rabu (15/12). Bagaimana tidak, sebanyak 700.000 pohon randu atau Ceiba pentandra di Kabupaten Pati yang tersebar di sejumlah daerah, sekitar 30 persennya telah ditebang. Alasannya mengganggu jalan, lingkungan sekitar, dan untuk bahan baku furnitur. Akibatnya mulai 2009, para pengolah kapuk terpaksa harus mendatangkan kapuk dari Jawa Timur, sedangkan perajin kasur terpaksa mencampur kapuk pengisi kasur dengan limbah kapas dari pabrik tenun di Sidoarjo, Jawa Timur, dan Bandung, Jawa Barat. Dampaknya pasar ekspor kasur ke Malaysia dan Singapura pun terganggu. Beberapa di antaranya menghentikan permintaan kasur, sehingga banyak perajin kehilangan pasar impor. Supeno mengatakan, satu tempat usaha pengolahan dan pengepakan kapuk membutuhkan 1.760 ton kapuk per tahun. Sementara kebutuhan kapuk yang berasal dari Kudus, Jepara, Pati, Blora, dan Grobogan, hanya bisa dipenuhi 1.110 ton kapuk per tahun. Sisanya, 660 ton, didatangkan dari sejumlah kota di Jawa Timur, seperti Madiun, Probolinggo, Trenggalek, dan Banyuwangi. Harga kapuk pun naik dari Rp 9.500 per kilogram menjadi Rp 14.000 per kilogram. Padahal harga jual kasur di tingkat lokal tidak naik, tetap Rp 120.000 hingga 150.000 per buah. ”Hal itu menyebabkan modal para perajin naik. Untuk menyiasati agar modalnya pas, para perajin mencampur kapuk dengan limbah kapas dari pabrik tenun,” kata Supeno. Sementara produksi kapas berkurang, karena jumlah tanaman randu di Pati terus menurun. Pada tahun 2004, jumlah luasan tanaman kapuk mencapai 17.870 hektar dengan produksi mencapai 8.370,71 ton. Produktivitasnya mencapai 554 kilogram per hektar. Pada tahun berikutnya jumlah lahan produksi turun 1.386 hektar, dan hanya tersisa 16.484 hektar. Berkurangnya luas lahan berpengaruh juga pada jumlah produksi tahun 2005 dengan hanya mencapai 8.344,15 ton. Pada tahun 2006 luasan tanam kapuk di Pati kembali turun hingga hanya 16.330 hektar. Penurunan itu juga memengaruhi tingkat produksi yang juga turun sebanyak 119,31 ton. Tinggal cerita Padahal, sejak zaman penjajahan Belanda kawasan Jateng bagian timur terkenal dengan sebutan negeri ”Java Kapuk” atau Kapuk Jawa. Area penanaman pohon randu atau kapuk terdapat di Pegunungan Muria. Ketika itu, pohon randu tumbuh hampir di setiap jalan desa, namun sekarang semuanya tinggal cerita. Kepala Desa Karaban Suparman, berharap Pemerintah Kabupaten Pati mengembangkan perkebunan pohon randu. Selain itu, pemerintah dapat mencanangkan program pelestarian pohon randu dengan melarang penebangan pohon randu tanpa izin instansi bersangkutan. ”Sekitar 80 persen masyarakat Desa Karaban bergantung pada kapuk. Selain itu, rumah tangga industri kapuk di Karaban menggunakan tenaga kerja dari luar desa, terutama untuk pengolahan kapuk,” kata Suparman. Pada 2010, di Desa Karaban terdapat 47 tempat usaha pengolahan dan pengepakan kapuk, 1.500 perajin kasur, 2.500 buruh pengolah dan pengepak kapuk, dan 1.000 tenaga pemasaran kasur dan kapuk. Namun pengolahan dan pengepakan kapuk saat ini mulai terganggu. ”10 di antaranya sudah kolaps karena kerap kekurangan bahan baku. Padahal untuk satu unit pengolahan dan pengepakan kapuk terdapat 80 tenaga kerja,” kata Supeno. Kendati demikian, walau sebagian besar pengusaha dan perajin kehilangan pasar ekspor ke Malaysia dan Singapura, pasar lokal masih potensial. Begitupula pasar di sejumlah daerah di luar Jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan. Setiap bulan, satu kontainer truk kasur dan kapuk dari Desa Karaban terjual di Sumatera dan Kalimantan. Sistem penjualannya dengan cara berkeliling dari kota ke kota di dua daerah itu. ”Pasar kapuk di Indonesia masih sangat bagus dan potensial. Apalagi sekarang ada gerakan kembali ke alam, sehingga orang tidak menggunakan kasur sintetis, melainkan kapuk,” ujar Supeno. Maka sangat disayangkan jika rumah tangga industri Java Kapuk harus punah